SAWITKITA MENJAWAB TANTANGAN MEWUJUDKAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN MELALUI PENDEKATAN PENDAMPINGAN BERBASIS DIGITAL

Dr. Ir. Purwadi, MS. – Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit INSTIPER
Pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit merupakan bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia. Terdapat 3 tipologi pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yaitu perkebunan besar swasta, perkebunan besar negara, dan perkebunan rakyat atau swadaya. Berdasarkan siaran pers Kemenko Bidang Perekonomian Republik Indonesia pada tanggal 05 Oktober 2021 menyatakan hasil rekonsiliasi luas tutupan kelapa sawit nasional yang dikoordinasikan Kemenko Bidang Perekonomian tahun 2019 telah mengidentifikasi seluas 16,38 juta ha, dengan distribusi luas Perkebunan Rakyat (baik swadaya maupun kemitraan) sebesar 6,72 juta ha (41%), Perkebunan Besar Negara sebesar 0,98 juta ha (6%), dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 8,68 juta ha (53%). Proyeksi dari para ahli menyatakan bahwa hingga tahun 2030 distribusi luas tutupan kelapa sawit akan didominasi oleh Perkebunan Rakyat mencapai 60%, Perkebunan Besar Swasta sebesar 36%, dan Perkebunan Besar Negara sebesar 4%. Data-data di atas menunjukan bahwa peranan Perkebunan Rakyat memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Sebagai kelompok produsen yang semakin dominan di Indonesia, kontribusi pekebun swadaya dalam peningkatan produktivitas sekaligus keberlanjutan praktik produksi semakin penting untuk direalisasikan. Pada kenyataannya, sebagian besar pekebun swadaya beroperasi secara mandiri, seringkali tanpa dukungan teknis dari penyuluh ataupun pendamping. Akibatnya, pekebun swadaya tidak hanya menjadi produsen kelapa sawit yang paling tidak produktif di Indonesia, tetapi juga cenderung beroperasi tanpa mengikuti prinsip Good Agriculture Practices (GAP). Ketiadaan dukungan teknis juga merupakan hambatan utama bagi pekebun swadaya untuk memenuhi standar keberlanjutan usahatani kelapa sawit.
Di sisi lain, pemerintah telah berkomitmen mewujudkan pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan melalui diterbitkannya Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Peraturan ini menekankan kewajiban semua pelaku usaha budidaya kelapa sawit untuk memperoleh sertifikasi ISPO. Khusus pelaku usaha pekebun swadaya, pemberlakuannya disertai dengan tenggang waktu lima tahun hingga 2025. Setelah tahun 2025, kewajiban untuk pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO tidak dapat lagi dihindari oleh para pekebun sawit swadaya. Saat ini, tahun 2022, tenggat waktu yang diberikan hanya menyisakan 3 tahun. Sementara itu jumlah kebun swadaya yang telah tersertifikasi berdasarkan data Partnership for Indonesia's Sustainable Agriculture (PISAgro) baru mencapai 11 KUD/Kebun Plasma, 1 BUMDES dan 6 Koperasi/Asosiasi Kebun yang setara dengan 12,8 ribu hektar atau 0,19% dari total luas 6,72 juta hektar kebun kelapa sawit swadaya (Sumber: BPDP, 2021).
Dalam mekanisme sertifikasi ISPO pekebun swadaya diwajibkan memenuhi 5 prinsip dan 30 indikator. Adapun prinsip yang harus dipenuhi meliputi kepatuhan terhadap perundang-undangan; penerapan praktek perkebunan yang baik; pengelolaan lingkungan hidup, sumberdaya alam, dan keanekaragaman hayati; penerapan transparansi; dan peningkatan usaha berkelanjutan.
Menurut Agrofarm (2020) implementasi ISPO tidak mudah karena tingkat kesiapan (readiness to implement) dari kelompok pekebun untuk melakukan sertifikasi masih sangat rendah. Masih banyak hambatan atau kendala yang harus diselesaikan di tingkat pekebun untuk mewujudkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Alih-alih memperbanyak perkebunan yang bersertifikasi ISPO, penerapan ISPO secara wajib tanpa diikuti pembenahan dan pendampingan justru akan berpotensi mengeksklusi (mendiskriminasi) pekebun swadaya karena mereka masih belum siap dan banyak menghadapi kendala pemenuhan aspek penilaian.
Metode pendampingan konvensional kepada pekebun swadaya dalam rangka memenuhi prinsip keberlanjutan tidak dapat lagi diandalkan. Keterbatasan jumlah penyuluh, distribusi pekebun yang terpisah – pisah, serta keterbatasan sumberdaya menyebabkan transfer pengetahuan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara optimal. Jangkauan pendampingan konvensional juga sangat sangat terbatas dikarenakan jumlah pendamping profesional yang tersediapun tidak mencukupi. Adanya pandemi Covid-19 semakin menurunkan reliabilitas atau keandalan metode pendampingan konvensional dalam menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
Di era digital saat ini, jangkauan telekomunikasi sudah cukup luas dan hampir menjangkau sebagian besar lokasi perkebunan kelapa sawit rakyat.  Terbuka peluang mekanisme pendampingan baru menggunakan platform digital yang memiliki efisiensi dan keterjangkauan yang lebih luas dibandingkan pendampingan konvensional. 
Dalam upaya eksplorasi metode penyuluhan tersebut, serta untuk mempercepat pemenuhan prinsip keberlanjutan usahatani kelapa sawit sebagaimana prinsip dan kriteria ISPO maka Fakultas Pertanian INSTIPER Yogyakarta bekerja sama dengan Yayasan Kehati melalui program Strengthening Palm Oil Sustainability in Indonesia (SPOS) telah mengembangkan platform penyuluhan digital bagi petani kelapa sawit di Indonesia bernama SAWITKITA. 
SawitKita adalah sebuah platform terintegrasi yang terdiri dari 3 pilar utama. Pertama, SawitKita menyediakan system pakar yang dapat mendampingi pekebun dalam mengambil keputusan operasional kebun. System pakar yang tersedia saat ini meliputi system pakar persiapan lahan (LahanKita), system pakar pembibitan (BibitKita), system pakar pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPTKita), system pakar pemupukan (FertiKita), system pakar administrasi keuangan (DanaKita), dan system pakar pengelolaan panen (PanenKita). Pilar kedua dari SawitKita adalah Learning Management System (LMS) yaitu SawitKita Learning. SawitKita Learning terdiri dari 21 kursus budidaya sesuai kebutuhan penerapan GAP dan BMP di perkebunan kelapa sawit. Pilar ketiga adalah fitur diskusi HelloPlanters. Pada fitur ini pengguna dapat berinteraksi langsung dengan pakar untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi terkait budidaya kelapa sawit.
Hingga saat ini, Platform SawitKita telah diunduh dan digunakan oleh lebih dari 1500 user. User ini terdiri dari pekebun kelapa sawit, pengurus kelompok tani, masyarakat umum, hingga pelajar dan akademisi. Pengguna berasal dari 20 provinsi di Indonesia, terutama provinsi yang menjadi sentra budidaya kelapa sawit seperti Riau, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Platform Sawitkita merupakan sebuah pendekatan baru dalam percepatan penerapan praktek budidaya kelapa sawit yang baik di pekebun swadaya. Tanpa adanya pendekatan baru dalam pencapaian penerapan praktek budidaya sesuai prinsip Good Agriculture Practices (GAP) dan pengakuannya melalui sertifikasi ISPO, pekebun swadaya menghadapi ancaman terpinggirkan (marginalized) bahkan tersingkir (removed) dari rantai pasok kelapa sawit Indonesia.
SawitKita diharapkan menjadi jawaban atas tantangan keterbatasan jangkauan metode penyuluhan konvensional sekaligus upaya menangkap peluang di era internet saat ini. Terlebih lagi dalam kondisi pandemi saat ini dimana kita berada pada masa pembatasan sosial yang mengakibatkan komunikasi tatap muka sangat dibatasi. Melalui aplikasi ini memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan secara terus menerus tanpa dibatasi tempat dan waktu.