MEMBANGUN SINERGI PERHUTANAN SOSIAL DENGAN PERKEBUNAN SAWIT

“Saya menghubungkan multipihak untuk kerja sama dengan perhutanan sosial salah satunya bersama dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kerja sama ini banyak memberikan dampak
positif ke masyarakat termasuk kelola hutan,” ungkap Siti Maimunah. IPU, ASEAN Eng, adalah lulusan
INSTIPER Yogyakarta dengan latar belakang pendidikan kehutanan. Tak heran, hampir separuh usianya digunakan untuk mengabdi di sektor kehutanan dan akrab dengan lingkungan alam. “Selain menjadi dosen di INSTIPER Yogyakarta, saya merupakan salah satu Pendamping Mandiri Perhutanan Sosial dengan SK (Surat Keputusan) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebagai Pendamping Mandiri Perhutanan Sosial, saya mempunyai tugas mendampingi Perhutanan Sosial (hutan) yang dikelola masyarakat,” ungkapnya. Dikatakan Siti, Perhutanan Sosial ini merupakan program pemberian izin untuk masyarakat untuk mengelola kawasan hutan seperti halnya perusahaan kehutanan. Tentu, dengan peraturan dan batasan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Jadi, aturan pengelolaan jelas. “Tetapi, dalam pengelolaannya masyarakat tidak mempunyai anggaran, sehingga saya (sebagai pendamping) harus kreatif mencarikan solusi guna mendapatkan pendanaan tersebut,” katanya. Lantas, bagaimana agar Perhutanan Sosial yang telah diberikan secara aturan oleh pemerintah bisa berimplikasi kepada masyarakat? Tentu untuk mencari pendanaan ini tidaklah mudah, namun mudah bagi perempuan kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah.
Sinergi dengan perusahaan sawit
Berbekal aktif di berbagai forum dengan latar pendidikan kehutanan, Siti banyak dikenal oleh sebagian multipihak salah satunya perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Saya menghubungkan multipihak untuk kerja sama dengan Perhutanan Sosial yang salah satunya bisa dikerjakan bersama perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya, banyak kesempatan (peluang) multipihak, bisa juga dengan perusahaan kehutanan seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), perusahaan tambang, Non-Govermental Organization (NGO) atau LSM, maupun perusahaan lainnya,” terang Siti.
Menurutnya, dalam suatu kerja sama harus saling menguntungkan seperti itu juga yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit dan masyarakat. “Misalnya Perhutanan Sosial bekerja sama dengan perusahaan kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit perlu untuk penilaian dalam mendapatkan sertifikasi keberlanjutan (RSPO atau ISPO) ataupun penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) dari Kementerian Kehutanan. Sedangkan, masyarakat perlu dana untuk kelola hutan,” jelas Siti. “Sebenarnya, kegiatan seperti ini sudah banyak dilakukan perusahaan kelapa sawit, namun tidak banyak dipublikasikan karena pro kontra tanaman sawit dan komoditas kelapa sawit terutama di kawasan hutan oleh Kementerian tertentu. Yang ditunjukkan oleh Kementerian Kehutanan kebanyakan kemitraan yang bukan dengan perusahaan kelapa sawit sebagai prestasi. Padahal kerja sama (Perhutanan Sosial) dengan kebun kelapa sawit juga banyak memberikan dampak positif ke masyarakat termasuk kelola hutannya,” imbuh perempuan berhijab bergelar Doktor dari Universitas Gajah Mada (UGM), dengan pembimbing Profesor Paul Kessler dari Universiteit Leiden Netherlands. Tetapi, tambah Siti, di dunia perkelapasawitan hal ini sudah dipublikasi sampai internasional salah satunya oleh PT Bumitama Gunajaya Agro (BGA). Bahkan, perusahaan kelapa sawit ini dapat penghargaan perusahaan terbaik pada 2024 untuk program konservasi oleh RSPO terkait upaya pendampingan konservasi. Agar dunia internasional tahu ada perusahaan kelapa sawit di Indonesia bekerja sama dalam pengelolaan Perhutanan Sosial, Siti menyampaikannya di event konferensi sawit berskala internasional, International Conference Palm Oil and Enviroment (ICOPE), yang diselenggarakan pada Februari lalu, di Bali. Bahkan, ia pernah paparan di International Symposium Tropical Forest (ISTF) di Yale University New Heaven USA pada 2023, terkait efford perusahaan perkebunan kelapa sawit pada pengembangan kehutanan melalui pola kemitraan lingkungan. “Pada event ICOPE 2025, saya menyampaikan materi terkait kemitraan pengelolaan lingkungan antara perusahaan kelapa sawit dengan kelompok (Perhutanan Sosial),” ungkap Siti yang pernah menerima penghargaan Kalpataru pada 2017 dan 2019. Pada kesempatan itu, ia mengatakan industri kelapa sawit telah dirundung berbagai isu negatif. Standar keberlanjutan yang bersifat sukarela dan wajib telah ditetapkan untuk memastikan kepatuhan sosial dan lingkungan. “Perusahaan perkebunan sawit (Bumitama) yang beroperasi di Kalimantan Barat, mengelola sebuah program yang bertujuan untuk menggabungkan konservasi dengan program sosial/masyarakat, baik di dalam konsesi perusahaan maupun di area konservasi di luar konsesi, yaitu area perhutanan sosial,” katanya. Program ini juga merupakan bagian dari kebijakan keberlanjutan perusahaan untuk mengelolaprogram kemitraan lingkungan, mendukung konservasi keanekaragaman hayati, dan kelompok kehutanan sosial di sekitar konsesi. Dan, Komitmen tersebut juga ditegaskan dalam Prinsip dan Kriteria RSPO dan ISPO, untuk mengelola kawasan Nilai Konservasi Tinggi (HCV) dan Stok Karbon Tinggi (HCS), yang memiliki persimpangan dengan kawasan masyarakat. Perusahaan (BGA) juga memiliki 5 kategori Kemitraan Lingkungan, salah satunya adalah Perhutanan Sosial, yaitu suatu bentuk pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat untuk melaksanakan program konservasi. Kegiatan yang umum dilakukan adalah pendampingan program konservasi pada perhutanan sosial dan hutan lainnya yang dikelola oleh masyarakat atau kelompok masyarakat, terutama yang berada di sekitar konsesi perusahaan. Perusahaan berperan sebagai penunjang kegiatan konservasi alam dan kegiatan ekonomi yang layak yang dilakukan di kawasan hutan. Program ini ditetapkan pada tahun 2022, dan dapat dievaluasi dan disesuaikan setiap 5 tahun. Lebih lanjut, Siti mengungkapkan manfaat bagi kedua belah pihak dalam menjalankan kemitraan. “Meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat melalui pengembangan hutan dan ekonomi berbasis lahan yang dapat diterapkan. Program ini diharapkan dapat mengatasi kendala ekonomi dalam pengelolaan kawasan hutan sosial yang telah ditetapkan, sementara masyarakat memperoleh manfaat jasa lingkungan sekaligus menciptakan nilai ekonomi,” ungkapnya. “Perusahaan juga memperoleh nilai dalam upaya konservasi hutan, yang akan mengurangi ketegangan sosial, risiko kebakaran, dan meningkatkan kredibilitas perusahaan dalam program lingkungan, konservasi, dan masyarakat. Program ini dapat menjadi inovasi baru dalam pengelolaan perhutanan sosial di Indonesia,” pungkas Siti. Yang pernah menerima Champion Asia Pasific Forest 2019, yang sangat tergerak untuk membantu koncervasi hutan di masyarakat termasuk mencarikan pendanaannya.

Sumber : Sawit Indonesia