INSTIPER Fokus Kepada SDM Dan Teknologi Sawit

Perkembangan industri pada dua tahun terakhir sangat intens dengan industri 4.0 yang sangat identik dengan Cyber Physical System (CPS). INSTIPER Yogyakarta memiliki strategi dalam persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi sawit.

Menyikapi perkembangan industri sawit, pihaknya sudah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan dinamika pertumbuhan bisnis , industri sawit serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pemutakhiran kurikulum dan riset yang relevan diharapkan bisa meningkatkan kompetensi mahasiswa dan lulusan. Hal itu diutarakan Rektor INSTIPER Yogyakarta, Dr. Ir. Harsawardana, M.Eng dalam dialog online bertema “Mencapai Produktivitas Serta Efisiensi Tinggi Berbasis Mekanisasi Sawit”, yang diadakan Majalah Sawit Indonesia dan PT Wahana Inti Selaras, pada Selasa (8 Desember 2020). Dijelaskan Harsawardana terkait dengan mekanisasi, diawali dengan teknologi mekanisasi. “Kami jelaskan beberapa point di antaranya perkembangan industri dan mekanisasi, mekanisasi sebagai strategy atau operational exellence, mekanisasi dalam value chain, pendorong mekanisasi perkebunan, mekanisasi, potensial barriers, program mekanisasi INSTIPER dan Riset Mekanisasi,” jelasnya.

Kalau melihat siklus perkembangan industri, pada dua tahun terakhir sangat intens dengan industri 4.0 yang sangat identik dengan Cyber Physical Integration System (CPS). Penggabungan fisik dengan dunia maya. Sementara kalau kita bicara mekanisasi sebenarnya masih berada pada industri 1.0,” lanjut, Harsawardana yang kerap disapa Harsa. Seperti diketahui, Revolusi Industri ditandai dengan masuknya mesin uap pada industri dan diikuti Traktor dengan mesin uap di pertanian di Eropa. Berikutnya adalah industri 2.0 salah satu mekanisasi yang dilengkapi dengan elektrik yang kemudian disebut mekatronik. Sementara, industri 3.0 adalah digitalisasi, mekanisasi assemblies ditambah elektronik dan ditambah dengan IT (internet) sudah banyak digunakan khususnya di industri elektrik. Sedangkan yang saat ini berjalan adalah sistem internet ditambah dengan sistem telekomunikasi (teknologi komunikasi dan informasi) sehingga mampu berhubungan dengan proses fisik yang ada di lapangan.

Selanjutnya, Harsa menambahkan membicarakan penerapan teknologi di sektor industri 1.0 hingga industri 4.0. Ada istilah cross industry , artinya teknologi di industri lain sudah mulai digunakan di industri sawit baik di perkebunan maupun di Pabrik Kelapa Sawit (PKS). “Ini adalah impian. Tadi, sudah disampaikan ada teknologi yang menggabungkan teknologi berbasis Information and Communication Technology (ICT), sistem elektronik Global Information System (GIS), Global Positioning system (GPS), automatic weighing system, fruit maturity by image processing, drone, date and time recorder, android phone. Misalnya, pada sistem evakuasi buah dan transport,” imbuhnya .

Dalam hal mekanisasi perusahaan akan memilih strategy atau operational excellence untuk keberlanjutan operasional. Berbicara operational exellence perusahaan akan mengarah ke penerapan best practices yang ingin dicapai atau menjadi target. Kendati demikian, Harsa mengingatkan, bagaimana jika perusahaan mengejar operational excellence? “Semua perusahaan suatu ketika akan ada pada titik yang sama yang disebut dengan convergence. Sedangkan operational exellence adalah menjalankan aktivitas lebih baik dari sebelumnya. Jadi pada suatu masa perusahaan satu dengan perusahaan lain tidak ada bedanya karena sudah mencapai standar terbaik atau best practices,” ucap Harsa.

Namun demikian, Ia menegaskan tentu pilihan yang paling bagus adalah mekanisasi menjadi salah satu strategi perusahaan yang akan menghasilkan kemampuan yang menonjol/ menonjol (distinctive competency ) dalam kegiatan tertentu. Keunggulan dalam bersaing (competitive advantages) diperoleh karena memiliki kemampuan yang menonjol dalam kegiatan tertentu adalah suatu bentuk yang membedakan perusahaan satu dengan perusahaan lainnya.

Biasanya kegiatan strategis (strategic initiatives) ini dilakukan pada value chain (rantai penambahan nilai) untuk menghasilkan kemampuan berbeda melalui inovasi yang berkelanjutan (continuous innovation). Tentu strategi ini supaya bisa diimplementasikan harus didukung oleh struktur dan kultur organisasi yang tepat ,” lanjut Rektor INSTIPER Yogyakarta ini. Berkenaan dengan perkebunan sawit (industri hulu sawit), yang disebut value chain perkebunan adalah gabungan mata rantai, dimana setiap mata rantai merupakan kegiatan kunci (key activities) yang menghasilkan nilai nilai (added value), diawali dari land preparation hingga aktivitas menghasilkan produk di pabrik. Dikatakan Harsawardana, mekanisasi di dalam value chain perkebunan dari hasil pengamatan hanya ada 6 aktivitas yang dikelompokan sebagai pekerjaan ringan lapangan dari 21 aktivitas lapangan. Mekanisasi harus didukung oleh mesin peralatan yang sesuai dengan kondisi lapangan dan jenis pekerjaan, sumber daya manusia yang disiplin dan paham mekanisasi, serta sistem manajemen yang mendukung.

Penerapan mekanisasi pada suatu Perkebunan tidak bisa diartikan begitu saja dengan memindahkan mesin peralatan yang dipakai oleh perkebunan komoditas yang berbeda. Karena kebutuhan dan tuntutan target yang berbeda pada suatu komoditas yang sama, mesin peralatan yang dipilih dan diterapakn juga dimungkinkan berbeda . Ini yang kadang disalahartikan, seolah mekanisasi hanya membeli alat untuk menggantikan manusia mesin dan peralatan. Sama halnya dengan industri lain. Industri sawit adalah industri biomassa yang juga menganut prinsip QCD (Quality and Quantity, Cost, Delivery) atau TQC (Time, Quality and Quantity, Cost),” sehingga pilihan untuk melakukan mekanisasi tentunya adalah untuk mencapai tujuan tersebut. Produktivitas dan penurunan biaya (cost) tidak hanya , katanya.

Pilihan QCD atau TQC tergantung pada perusahaan, yang dianggap faktor kompetitif manakah yang mampu meningkatkan kinerja perusahaan ? Tentu dalam hal ini, perusahaan harus mempertimbangkan aspek waktu, kualitas dan jumlah agar mampu mencapai tingkat efisiensi, efektifitas dan produktivitas tinggi yang ditargetkan” imbuh Rektor INSTIPER Yogyakarta, yang sebelumnya menjabat Wakil Rektor Bidang Akademik. Terkait dengan mekanisasi yang diaplikasikan di perkebunan khususnya perkebunan sawit, ada beberapa faktor pendorong perusahaan untuk menggunakan mekanisasi Perkebunan untuk mendukung kinerja operasionalnya (operational performance) dan mendapatkan kinerja keuangan (financial performance) yang diinginkan.

Dijelaskan Harsa, beberapa faktor yang menjadi pendorong (driver) untuk mengenalkan (introduction) dan penerapan (application) mesin dan peralatan di perkebunan sawit. “Pertama, Sulitnya mendapatkan pekerja untuk beberapa aktivitas di perkebunan seperti misalnya pemanenan (harvesting) dan evakuasi buah kelapa sawit. Kedua, generasi muda tidak suka bekerja di perkebunan, karena memang tidak memiliki keinginan bekerja di perkebunan dan beratnya pekerjaan di perkebunan yang mungkin sudah tidak sesuai dengan fisik generasi muda saat ini,” jelasnya.

Selanjutnya, ia menambahkan faktor ketiga, perkembangan kebun yang pesat dan target budget di suatu perusahaan menuntut produktivitas, efisiensi dan efektivitas suatu aktivitas (value chain). Dalam hal ini tenaga manusia memiliki banyak keterbatasan dibandingkan mesin dan peralatan. Keempat, sifat pekerjaan atau aktivitas di perkebunan yang seharusnya lebih cocok (efektif) dikerjakan oleh atau dengan bantuan mesin dan peralatan. Misalnya, penyemprotan herbisida dan pestisida, penyebaran pupuk, penyebaran janjang kosong atau transportasi buah sawit (TBS) di dalam kebun, panen (harvesting), angkat buah ke bak truk atau bin dan lainnya.

Kelima, biaya operasional yang dari tahun ke tahun semakin meningkat menuntut peningkatan produktivitas dan efisiensi di setiap aktivitas (value chain) di perkebunan. Keenam, mengejar target waktu operasional (timeliness). Kedelapan, meningkatnya volume pekerjaan dan keinginan untuk meningkatkan produktivitas, dan terakhir mengembangkan strategy atau operational excellence,” terang Harsa. Untuk melihat bagaimana suatu mata rantai kegiatan di perkebunan sawit. Harsa mencontohkan mekanisasi perkebunan sawit mulai dari land preparation, infrastruktur, planting/replanting, maintenance, harvesting, evacuating, transporting, fruit processing. “Dari kegiatan yang ada, saya pada saat ini akan lebih konsentrasi pada kegiatan (evacuating), tujuan yang akan dicapai yaitu fast, low cost, handle with care and safe,” ujarnya.

KEMBANGKAN BEBERAPA PERALATAN PENDUKUNG EVAKUASI BUAH SAWIT.

Untuk mendukung mekanisasi pada proses evakuasi buah sawit, pihak INSTIPER Yogyakarta dengan dukungan dari pemerintah (Kementerian Keuangan, KemRiset dan Dikti, Badan Riset dan Inovasi Nasional) mengembangkan beberapa alat yang didesain sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

“Kami juga sudah mendesain dan membuat prototipe Mini Grabber dalam tiga tahun terakhir untuk dipasangkan pada kendaraan angkut (roda tiga/empat), alat angkut multifungsi tersebut ditenagai dengan engine 11 HP hingga 14 HP. Peralatan ini diperuntukan untuk lahan yang tidak dapat dilintasi traktor besar yang sudah banyak dipakai di lapangan seperti traktor 36 HP hingga 40 HP. Peralatan ini, bisa untuk membantu perkebunan yang dikelola swasta (perusahaan) dan petani sawit rakyat yang lahannya tidak dapat di lalui traktor besar ” jelasnya.

Selain Crane Grabber berbagai jenis dan ukuran, kami juga mengembangkan trailer/scissor lift, three wheeler as common platform, loose fruits picker, dynamic weighing device, image classification device, IoT. Alat-alat ini dikembangkan setelah melihat dan mempertimbangkan desain mesin peralatan yang ada di lapangan serta mengkaji kebutuhan mekanisasi di masa sekarang dan lima tahun kedepan. Pengembangan mesin peralatan dengan prinsip cyber- physics integration pada teknologi industri 4.0, data secara realtime bisa diambil, dimanipulasi dan dianalisa yang memungkinkan mendapatkan data spasial dari Kebun (blok/ afdeling).

Data dan informasi dari lapangan yang mampu terhubung melalui perangkat lunak antara dan ERP (Enterprise Resource Planning) serta perangkat lunak business analytics menghasilkan kemampuan lacak balik (traceability). Jadi, satu kemampuan yang menjadi kebutuhan dan tuntutan manajemen dan pelanggan. “Selanjutnya akan masuk pada riset kamera berbasis artificial intelligence yang dipasang pada Crane Grabber atau menjadi kelengkapan suatu mesin peralatan guna menggantikan mata manusia dalam melihat kualitas kematangan buah,” tambah Harsa.

Menurutnya seperti diketahui proses evakuasi buah dilakukan, setelah buah diturunkan oleh pemanen maka tugas dari mandor/ krani selain memungut brondolan dengan cara mekanisasi atau memungut secara manual juga bertugas menilai kualitas kematangan buah sawit. Penggunaan mesin peralatan untuk mekanisasi yang dilengkapi dengan kamera berbasis Artificial Intelligence, bisa membantu untuk melihat tingkat kematangan buah (kualitas) di Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) yang diperlukan pada proses evakuasi buah (sawit) sebelum masuk ke Mill (pabrik).

Selain itu, INSTIPER Yogyakarta, terkait dengan kebutuhan SDM yang menguasai kompetensi agronomi sekaligus Mekanisasi dan Otomasi pada perkebunan Sawit juga telah disiapkan dan dibentuk minat khusus yang disebut AgroMeka Teknologi yang mengajarkan kompetensi gabungan yaitu agronomi, mekanisasi dan otomasi, keteknikan praktis, manajemen (operasional, SDM, Keuangan, Teknologi, Inovasi) dan sosial.

Kami memakai kurikulum mutakhir berbasis capaian yang dikenal dengan nama OBE (Outcome-based Education) berorientasi MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka). Profil / peran lulusan adalah lulusan yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap (KSA: Knowledge, Skill, Attitude) serta pengalaman praktek kerja ( work integrated learning experiences) yang cukup. Program MBKM memungkinkan mahasiswa belajar tidak hanya di dalam kampus, tetapi belajar juga bisa di tempat kerja, sehingga terjadi link and match dengan dunia kerja. dunia usaha dan industri,” ujarnya.

Sehingga program program dalam MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) ini menjadi peluang besar untuk membangun SDM yang memiliki kemampuan budidaya tetapi sekaligus juga bisa mengembangkan mekanisasi yang didukung dengan pengetahuan dan keterampilan tentang mesin peralatan, keteknikan, perbengkelan didasari dengan ketrampilan manajemen dan pemahaman sosial kultural ekonomi,” pungkas Harsawardana.

Dalam metode pembelajarannya, AgroMeka Teknologi di INSTIPER Yogyakarta menggunakan kurikulum OBE (Outcome-Based Education) dengan pengelompokkan (blok) mata kuliah kompetensi dengan komposisi sebagai berikut Dasar Agronomi, Kultur Teknis, Mekanisasi Perkebunan Sawit, Teknologi Keteknikan Dasar : Mekanik, Fluid Power, Elektonika dan Elektrik, Telekomunikasi, Teknik , Manajemen Perbengkelan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Manajemen, Sosial, Kemasyarakatan, Etika Dan Profesionalisme, Budi Pekerti. (Robi Fitrianto)



Bagi yang ingin mendownload majalah SAWIT INDONESIA Klik Disini